PEMBAHASAN bertubi-tubi tentang kondisi dunia akademik Indonesia membuat saya teringat pada satu istilah yang populer di negeri jiran, Malaysia. Istilah itu adalah “profesor kangkong”. Istilah tersebut pertama kali diberikan oleh seorang akademisi dan intelektual papan atas Malaysia, Syed Hussein Alatas. Beliau adalah sosiolog yang kajiannya tentang sosiologi korupsi menjadi acuan di mana-mana. Selain itu, beliau adalah seorang intelektual publik.
Saya sengaja ingin menegaskan di sini bahwa akademisi dan intelektual itu berada dalam dua tarikan napas yang berbeda. Tidak semua akademisi adalah intelektual dan, tentu saja, tidak semua intelektual adalah akademisi. Persatuan antara keduanya sesungguhnya sangat jarang. Tapi ini adalah topik lain.
Lalu, mengapa “profesor kangkong”? Syed Hussein Alatas memberikan gelar ini untuk para akademisi “who are ‘devoid of knowledge to the core’ and whose claim to be scholars and thinkers are undeserved.” Artinya, akademisi yang pengetahuannya kosong hingga ke bulu-bulunya dan klaimnya sebagai sarjana atau pemikir sungguh tidak pantas ia sandang! Ini adalah sebuah sergahan yang keras sekali. Ia mengandung makna yang dalam karena Malaysia di mata Prof. Alatas memiliki terlalu banyak doktor dengan keterampilan akademik yang medioker.
Singkat kata, seorang profesor kangkung adalah akademisi otak kosong. Di Malaysia dan banyak negara lain, akademisi secara otomatis adalah seorang profesor. Lebih menukik lagi, gelar profesor kangkung ini dikenakan kepada mereka yang ke mana-mana menggendong gelar PhD atau doktor namun tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk pantas menyandang gelar itu.
Saya sebenarnya agak keberatan dengan sebutan kangkong (kangkung) itu. Sayuran yang rendah hati ini sesungguhnya jauh berguna ketimbang pada profesor dan doktor kopong itu. Tapi, baiklah. Kita pakai saja karena enak didengar dan punya sinisme yang cukup kuat.
Dr. Sharifah Munirah Alatas, yang kebetulan adalah putri dari Syed Hussein Alatas, pernah mengulas persoalan ini dalam sebuah kolom di sebuah koran lokal berbahasa Inggris di Malaysia. Dr. Sharifa sedikit banyak mengonfirmasi pengamatan ayahnya, yakni terlalu banyak doktor yang tidak memiliki kompetensi dan tidak pantas menyandang gelar sebagai doktor. Dia menyebutnya sebagai “vacuous mind” atau ‘pikiran kosong’.
Mereka memiliki gelar PhD, tulis Dr. Sharifa, namun sering kali tidak punya kemampuan berpikir kritis. Banyak juga yang sadar akan kedunguannya namun tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki diri. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan adalah berpolitik di kampus, membuat jaringan patronase, bertingkah laku toksik, dan menghalalkan segala cara untuk meningkatkan karier mereka.
Menjadi doktor perlu biaya yang mahal. Selain itu perlu waktu panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun, lapangan pekerjaan di universitas untuk lulusan doktor ini juga tidak banyak. Jadi banyak dari doktor yang seharusnya mengajar di universitas atau melakukan riset ini tidak tertampung di dunia akademik dan di dunia kerja pada umumnya.
Namun, bagaimanapun para doktor ini diperlukan untuk menunjang sistem pendidikan. Mereka inilah yang akan meneruskan pengetahuan ke generasi muda. Persoalannya adalah ketika posisi-posisi mengajar ini diisi oleh para “vacuous minds” ini, yang kemudian membiakkannya atau membuat keturunan“vacuous minds” kuadrat!
Terus terang, saya melongo membaca tulisan Dr. Sharifa itu. Sambil membaca itu, bayangan saya menerawang ke dunia akademis di Indonesia. Apakah negeri ini lebih baik dari Malaysia? Tahun-tahun 1970-an, Malaysia mengirim banyak mahasiswa ke Indonesia, Anwar Ibrahim, yang sekarang menjadi PM Malaysia, adalah salah satunya. Namun, kini keadaan berbalik. Kitalah yang belajar ke Malaysia.
Pertanyaan saya agaknya salah. Soalnya bukanlah apakah kita lebih baik dari Malaysia, tetapi, seberapa parahkah dunia akademis kita? Seberapa banyakkah dari profesor dan doktor kita yang berkualitas “kangkong”? Saya kira, tidak hanya “profesor kangkong”, bahkan kita punya “profesor benalu” yang memerah dunia akademik, memanfaatkan celah-selah persyaratan meraih gelar akademik, untuk keuntungan pribadinya.
Beberapa waktu yang lalu, ada perbincangan ramai di media bahwa seorang profesor dalam negeri mencatut nama profesor di Malaysia dan mencantumkan namanya sebagai penulis peserta (co-author) dalam sebuah artikel yang diterbitkan di sebuah jurnal. Profesor di Malaysia tersebut tidak pernah diajak dalam penelitian dan tidak pula menulis. Namun, ajaibnya, namanya ada di dalam sebuah jurnal bersama profesor dari Indonesia itu.
Sang profesor ini pun rupanya juga sangat produktif. Sebelum hilang dari peredaran, akun Google Scholar dari profesor ini memperlihatkan bahwa untuk tahun 2024 ini saja dia sudah mempublikasikan 160 judul karya! Padahal tahun ini belum setengahnya berlalu.
Tidak itu saja. Saya mengintip beberapa jurnal di mana sang profesor kita ini menulis. Saya ambil random saja, seperti Journal of Social Science (sic! singular!). Saya tertarik karena tidak saja jurnal ini banyak menerbitkan karya sang profesor namun juga karena nama jurnalnya adalah Journal of Social Science, ilmu yang saya tekuni.
Walaupun berbahasa Inggris, URL jurnal ini adalah (dot)id yang jelas sekali menunjukkan bahwa laman web jurnal ini memiliki host di Indonesia. Jurnal ini bisa diakses secara gratis. Artinya, siapa saja bisa membaca artikel-artikel yang ada di dalamnya secara cuma-cuma. Hanya saja, jurnal ini mengenakan apa yang namanya article processing charge (APC) atau biaya memproses artikel. Besarnya US$470 atau Rp7 juta per artikel.
Jurnal ini memiliki editor in chief (editor kepala) bernama Chiska Nova Harsela dari Politeknik Siber Cerdika Internasional, Indonesia. Ini adalah sebuah institusi pendidikan di Cirebon yang mengaku sebagai sekolah siber pertama di Indonesia.
Saya memeriksa artikel terindeks Scopus dari editor kepala jurnal ini. Dia hanya memiliki satu publikasi berjudul “The Effect of Leadership Styles and Organizational Culture on Employee Performance at PT Muda Kaya Mendunia (MKM)”. Saya sengaja memakai Google Translate untuk menerjemahkan judulnya karena penerjemahan awalnya dari bahasa Indonesia ke Inggris bisa jadi memakai aplikasi ini. Hasilnya adalah “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan PT Muda Kaya Mendunia (MKM).” Artikel ini dikarang bersama tiga penulis lainnya.
Dalam artikel Scopus tersebut, sang editor kepala ini masih mencantumkan Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, sebagai afiliasi institusionalnya. Ini berbeda dengan afiliasinya di Journal of Social Science. Namun, saya menemukan akun Instagram atas nama yang sama. Dan di akun Instagram ini, nama yang sama tersebut mencantumkan bahwa dirinya adalah President Director of @syntaxcorporation. Dari akun Instagram-nya, ada posting bahwa dia baru saja wisuda S2, entah dari universitas mana namun ada di Indonesia.
Saya melihat bahwa Syntax Corporation ini memang ada dan memiliki kantor di Cirebon. Bidang usahanya berbagai macam, termasuk salah satunya dalam publikasi buku dan jurnal. Syntax Corporation adalah penerbit berbagai macam jurnal, salah satunya adalah Jurnal Syntax Admiration. Jurnal (sic!) ini diterbitkan oleh Ridwan Institute. Agaknya, Ridwan Institue ini masih berhubungan dengan Dr. Taufik Ridwan M.Hum, pemilik dari Syntax Corporation. Yang lebih menarik lagi, sang editor kepala dari Journal of Social Science ini adalah istrinya.
Journal of Social Science mengklaim memiliki dewan editorial dari banyak negara. Salah satunya adalah A Said Ziani dari Mohammed V University dari Rabat, Maroko. Secara iseng saya melihat profil akademik A Said Ziani ini. Saya klik artikel Scopusnya. Tulisan pertama dari Ziani berjudul “Time-scale image analysis for detection of fetal electrocardiogram.” Atau: Analisis gambar skala waktu untuk mendeteksi elektrokardiogram janin. Lalu, apa hubungannya dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu.
Sebuah jurnal terindeks Scopus lain yang juga menarik perhatian saya adalah Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). Dari namanya terlihat jurnal ini berbobot sangat internasional. Budapest adalah Ibu Kota Hungaria. Tentu jurnal ini terbit di Eropa bukan? Salah sama sekali.
Dari kontak yang tertera di jurnal ini, ia dipublikasi dari sebuah perumahan di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Editor Kepala-nya bernama Muhammad Ridwan. Dari Scopus-nya kita tahu bahwa yang bersangkutan adalah pengajar di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Ia telah menulis 10 artikel terindeks Scopus.
Jurnal ini juga memiliki seorang asisten editor kepala. Posisi ini dijabat oleh Prof. Vladimir A. Tregubov dari Peoples Friendship University, Moskow, Rusia. Saya tidak berhasil secara definitif menemukan siapa sebenarnya Prof. Tregubov ini. Yang jelas saya tahu adalah bahwa People’s Friendship University itu dulu dikenal dengan mana Patrice Lumumba University, di mana banyak orang Indonesia dikirim belajar ke sana pada masa Soekarno. Ada nama yang sama terdaftar pada St. Petersburg University. Namun, Prof. Tregubov di sini adalah seorang ahli teknik.
Nama Prof. Vladimir A. Tregubov ini juga muncul di jurnal lain yang bernama LingLit Journal: Scientific Journal for Linguistics and Literature. Muhammad Ridwan menjabat sebagai chief executive office (sic!) pada jurnal ini. Editor kepalanya adalah Dr. Yusni Khairul Amri dari Universita Muhammadiyah Sumatera Utara. Asisten Editor kepala dijabat oleh Bantalem Derseh Wale, PhD., Doctor of English Language Teaching, Injibara University, Ethiopia. Para editornya berasal dari berbagai negara dengan jabatan-jabatan mentereng seperti mengepalai sebuah kantor dari badan PBB, UNESCO.
LingLit Journal sendiri dipublikasikan oleh sebuah lembaga yang bernama Britain International for Academic Research (BIAR). Karena namanya Britain, tentunya ia adalah lembaga yang berasal dari Inggris, bukan? Salah lagi. BIAR adalah penerbit yang menerbitkan banyak jurnal. Dalam situs webnya, ia mengklaim bahwa ia adalah:
Jurnal peer-review (seharusnya: peer-reviewed, MS) yang diterbitkan pada bulan Februari, Juni dan Oktober yang memuat makalah-makalah di bidang humaniora: bahasa dan linguistik, pendidikan, sejarah, sastra, seni pertunjukan, filsafat, agama, seni visual. Ilmu-ilmu sosial: ekonomi, antropologi, sosiologi, psikologi, geografi, studi budaya dan etika, studi gender dan seksualitas, studi wilayah, arkeologi, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu teknik, ilmu eksakta dan bidang terkait lainnya dan diterbitkan baik dalam versi online maupun cetak.
Ia menerbitkan banyak jurnal, antara lain Rowter Journal yang membahas soal-soal ekonomi, perdagangan, mata uang, dan lain-lain; Matondang Journal, membahas kebudayaan, agama, bahasa, dan pendidikan; Economit Journal: Scientific Journal of Accountancy, Management and Finance; Polit Journal Scientific Journal of Politics; Lakhomi Journal Scientific Journal of Culture; Britain International of Exact Sciences (BIoEx) Journal; Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, dan masih ada beberapa lagi.
Konglomerasi jurnal dengan nama-nama keren ini berpusat di tempat yang sama dengan BIRCI, yakni di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Dan, yang lebih keren lagi, BIAR ini juga mengaku memiliki kantor cabang di Marburg, Jerman, tepatnya di Rheinstrasse, 55413 Neiderheimbach am Rhein, Germany.
Nama yang muncul dari setiap jurnal di bawah konglomerasi ini adalah nama yang sama, yakni Muhammad Ridwan. Demikian juga rekening bank yang tercantum pada situs webnya ada dua jenis, yaitu rekening BRI atas nama sebuah yayasan dan rekening Bank Mandiri atas nama Muhammad Ridwan sendiri.
Jurnal-jurnal ini menarik bayaran (fee) untuk penerbitan sebuah artikel. Untuk Matondag Journal, misalnya, fast-track review memakan beaya US$85.00; publikasi artikel online: US$40.00; cetak US$20.00.
Saya tidak tahu seberapa absah jurnal-jurnal. Saya memang tidak sempat mengecek nama-nama para editornya dengan menghubungi mereka secara langsung. Namun, saya melacak jejak-jejak publikasi mereka di laman Scopus atau tulisan-tulisan akademik mereka. Tampak sekali nama-nama asing, gelar, dan universitas yang dimasukkan sebagai dewan redaksi (editor) jurnal-jurnal ini besar sekali kemungkinannya adalah asal comot belaka. Beberapa nama bahkan tidak pernah menulis soal yang menjadi topik utama jurnal. Apa hubungan antara orang yang ahli dalam citra USG janin dengan ilmu-ilmu sosial, misalnya?
Penelusuran saya ini pun hanya acak belaka. Sebuah penyelidikan serius dari lembaga yang bertanggung jawab atas integritas dunia pendidikan tinggi di negeri ini harus dilakukan. Demikian pula perlu ada liputan investigasi dari media-media mainstream untuk mengulik seberapa besar bisnis ini.
Seberapa pun lemahnya penelusuran saya ini, ia memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang sangat besar tersembunyi di dalam dunia akademik ini, yakni sebuah industri yang kemungkinan bersifat predatoris dengan mengeksploitasi dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Saya sendiri bisa merasakan besarnya bisnis ini. Beberapa waktu yang lalu saya melihat kurikulum program S2 dari sebuah universitas negeri papan atas. Di dalam program dan kurikulum S2 tersebut ada syarat bahwa seorang mahasiswa harus mempublikasikan dua artikel ilmiah di jurnal sebagai syarat kelulusan. Dua artikel ini membuka peluang bisnis bagi penerbit-penerbit jurnal dengan indeks yang diklaim prestisius ini.
Penerbitan saja tidak cukup. Saya mendapat cerita dari seorang mahasiswa bahwa ia (tepatnya: orang tuanya!) harus menyediakan dana cukup besar agar bisa memenuhi syarat menulis dua artikel di jurnal tersebut. Ia menyebut angka antara Rp15-20 juta agar artikelnya bisa lolos dimuat di sebuah jurnal.
Seorang mahasiswa lain menyebutkan bahwa biaya besar itu sebenarnya bukan untuk penerbitan artikelnya belaka. Biaya terbesar, katanya, adalah coaching penulisan artikel untuk jurnal tersebut. Siapa yang menjadi coach tersebut? Para coaches tersebut adalah dosen-dosen mereka sendiri. Para dosen itulah yang bekerja sama dengan para penerbit dengan nama-nama jurnal yang aneh dan keren itu, yang terbit di tempat-tempat di luar perkiraan kita semua: Cirebon atau Deli Serdang, seperti yang ditunjukkan dalam penelusuran saya ini. Bukan berarti dua daerah itu tidak pantas mendapat kehormatan sebagai tempat lahirnya jurnal-jurnal “internasional” tersebut. Namun kota-kota ini bahkan tidak memiliki universitas, lembaga riset, atau pun tradisi akademik yang kokoh di negeri ini.
Jika saya kembali melihat apa yang disebut sebagai “profesor kangkong” oleh Syed Hussein Alatas, maka dengan sedih saya harus akui bahwa Indonesia tidak memiliki profesor berkualitas kangkong. Kita memiliki profesor dan doktor benalu. ***
Source : https://indoprogress.com/2024/06/profesor-kangkong/
Re-share by Michael T.
Next Topics :